Tanjung Pura – Hamparan tanaman Rhizophora (Mangrove) di Kawasan Hutan Lindung pada kordinat 4.01098 LU – 98.48422 BT porak poranda. Warga Desa Kwala Langkat, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat yang menjaga hutan itu resah. Belantara sebagai ekosistem yang menopang kehidupan mereka, kini tak lagi bersahabat.
Bukan lagi persolaan mengais rezeki di kawasan Mangrove, pemukiman warga di desa itu, kini kerap terendam air laut. Lingkupan benteng perkebunan sawit pada Kawasan Hutan Lindung sesuai Kepmen LHK Nomor SK.6609/MenLHK-PKTL/KUH/PLA/2/10/2021 ini, menyebabkan siklus air laut ke belantara bakau terganggu.
“Dulu, mudah mendapatkan kepiting, udang dan tangkapan laut di areal hutan bakau. Sekarang ini, gak kebanjiran aja kampung kami ini dah syukur kali. Ini lah kawasan hutan terahir kami yang pertahankan,” kata Syahrial dengan mata berkaca – kaca.
Mayoritas warga, terpaksa berhutang ke pihak penyedia kredit, hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari – hari. Bukan untuk membeli mebel ataupun kendaraan bermotor sebagai kebutuhan sekunder.
Tak ada lagi yang bisa diharapkan warga dari hutan yang dulunya asri. Pertahanan desa dari abrasi dan genangan air laut serta sumber penghasilan, kini porak poranda.
Mafia perambah wangrove di hutan lindung itu, merampas hak penduduk di sana atas kehidupan yang layak. “Dulu, rusa pun banyak dijumpai di kawasan hutan ini. Sekarang, sudah tak ada lagi. Pohon mangrove berusia puluhan tahun ditumbangi mafia,” tutur Syahrial.
Parahnya, Sarkawi alias Olo, salah seorang warga di kampung itu, disebut – sebut dan diduga selalu memfasilitasi kebutuhan mafia. Alat berat berupa ekskavator yang dibutuhkan, Olo mampu menyediakan hingga masuk ke kawasan hutan.
Ironis, pada awal Februari 2024 lalu, 1 unit ekskavator berhasil diamankan aparat kepolisian dari Polda Sumut, atas laporan Ilham Mahmudi dan rekan – rekannya. Namun, aktor yang santer memfasilitasi alat berat yang merusak hutan tak kunjung tertangkap.
Malah, sang penjaga hutan lindung dari pembalak liar dijemput paksa dari rumahya pada 18 April 2024 lalu. Ilham Mahmudi diamankan belasan pria berpakaian preman tanpa memperlihatkan surat perintah penangkapan, atas tuduhan perusakan sebuah rumah yang berdiri di hutan lindung.
Warga di desa itu, kini malah kerap mendapat teror. Beberapa utusan Olo, sering mendatangi warga sembari mengeluarkan mengancam. Tak segan – segan, orang utusan Olo memotret warga sembari mengatakan ‘Awas kalian!!!’.
Dari investigasi awak media bersama LBH Medan, Kontras Sumut dan Yayasan Srikandi Lestari, kerusakan hutan lindung di desa itu sangat parah. Ratusah hektar kawasan mangrove dan nipah disulap mafia menjadi perkebunan sawit.
Kawasan itu dilingkup dengan tanggul tanah untuk mencegah air laut masuk ke kawasan. Tak ada lagi terlihat hewan – hewan khas hutan bakau yang terlihat di sana. Yang tersisa hanyalah kondisi lahan yang gersang dan porak poranda.
Pepohonan sawit dari beragam usia tanam, kontras terlihat sebagai bukti ulah mafia yang tak bertanggungjawab. Namun, baik pemerintahan desa setempat maupun pihak – pihak terkait yang bertanggungjawab terkesan menutup mata.
Anehnya, pada tanggul dan areal di dalam kawasan hutan lindung itu berdiri plang – plang larangan masuk. Tulisan ‘Tanah/Area Kebun ini Dalam Pengawasan Advokat / Pengacara : Ali Musa Tarigan SH MH, Muhammad Riau SH MH, Herman Nasution SH MH. HP 08126427007 – 081280443255.
Di plang yang tertera logo AMR Law Firm itu, juga tertera larangan masuk Pasal 551 KUHP, Pasal 167 (Ayat 1) KUHP dan Pasal 257 (Ayat 1) UU 1/2023. Sejatinya, plang ditancapkan tersebut juga berada persis di dalam kawasan hutan lindung.
“Kan aneh. Masyarakat yang menjaga hutan dari kerusakan, kok ditangkap. Mafia yang semestinya dihukum malah dilindungi. Kami diteror karena menjaga alam. Di mana polisi yang semestinya menjadi pengayom kami. Hutan lindung ini akan tetap kami pertahankan, meskipun harus menumpahkan darah,” ketus puluhan warga yang mendatangi lokasi tersebut.
Di lokasi itu juga, warga Desa Kwala Langkat mendesak agar polisi segera membebaskan Ilham Mahmudi dan menangkap Sarkawi alias Olo yang diduga sebagai antek mafia. Mereka membawa poster yang bertuliskan kata – kata penolakan terhadap praktik mafia perusak hutan dan tindakan tegas aparat penegak hukum dalam persoalan tersebut.
Wakil Direktur LBH Medan M Ali Nafiah Matondang SH MH menegaskan, bahwa areal tersebut merupakan kawasan hutan lindung. Masyarakat harus semakin kuat dan kompak dalam melakukan perlawanan.
“Kami mendesak, agar Kapolda Sumatera Utara, Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Gakkum dan pejabat yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum yang tegas, kepada orang – orang yang melakukan pengrusakan di kawasan hutan ini,” kata Ali.
Sejatinya, Undang – undang 18/2013 memberikan legalitas atau dasar hukum, keberadaan masyarakat dikawasan hutan lindung dalam menjaga hutan. Sehingga dapat dimaknai, undang – undang ini berkontribusi dalam melindungi eksistensi mayarakat dalam upaya menjaga dan mencegah kerusakan hutan.
Masyarakat lokal semestinya menjadi bagian dari orang yang harus dibela negara. Intrumen internasional memandatkan, negara wajib menjaga keberadaan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) / Human Rights Defenders (HRDs). Termasuk masyakarat yang memastikan perlindungan kawasan hutan yang dilindungi. (Ahmad)